RSS

Globalisasi; Pisau Bermata Dua

31 Dec

Globalisasi adalah term lama yang telah dilontarkan. Dalam term tersebut batas-batas geografis dan demografis menjadi fana; pendidikan, ekonomi, hingga ilmu pengetahuan akan semakin terbuka. Siapapun dan dimanapun keberadaannya dengan paspor globalisasi dia akan bisa melakukan transaksi bisnis di negara yang mungkin tidak pernah dikunjungi sekalipun.

Globalisasi adalah suatu kemutlakan. Proses globalisasi seimbang dengan kehidupan manusia dan sepanjang sejarah manusia. Sebab, selalu terdapat upaya manusia untuk mendekatkan diri antara satu sama lain atau dengan komunitas lainnya untuk mencari titik persamaan; yang menurut priramida kebutuhan Maslow adalah hakekat pencarian jati dirinya.

Hanya saja, keterbukaan (dan kebebasan) tanpa mengenal batas ini menjadi semacam peringatan dini, khususnya bagi perkembangan cum pelestarian seni-budaya di suatu daerah. Pasalnya, batas-batas geografis dan demografis menjelaskan adanya sebuah keunikan, kekhasan, dan keragaman. Hildred Geertz menyatakan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 etnis. Tentu saja masing-masing etnis memiliki bahasa, seni, dan budaya yang berbeda satu dengan lainnya.

Persoalannya adalah globalisasi yang diusung oleh barat sering kali disajikan sebagai kedok untuk merampas nilai-nilai budaya dan mengklaim seni di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sosiolog Kenya Simon Kimoni menyatakan bahwa di sepanjang 30 tahun terakhir, negara-negara Barat berusaha memaksa masyarakat dunia untuk menerima nilai-nilai Barat secara mutlak. Apabila tidak segera diantisipasi, hal ini sangat berbahaya dan jika terus berkelanjutan, proses ini akan menyebabkan hegemoni Barat dan Amerika terhadap negara-negara lain.

Dalam seminar internasional bertema “Seni dan Glabalisasi” yang digelar di Teheran, Iran yang dihadiri oleh 15 negara, antara lain Perancis, Tunisia, Russia, Nigeria, Turki, Zimbabwe, Kenya, Italia, Cina, Lebanon, Mesir, Afrika Selatan, Kanada, dan Tanzania, disimpulkan bahwa globalisasi adalah pisau bermata dua; proses hegemoni barat dan upaya meninggikan seni-budaya.

Globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya karena setiap etnis yang ada akan berusaha menyesuaikan. Tetapi, dalam proses ini negara-negara -khususnya di negara berkembang dimana perekonomian belum mapan – harus berupaya memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.

Globalisasi apabila didefinisikan sebagai proses hegemoni yang dilakukan negara-negara adidaya terhadap negara berkembang tentu menjadi semacam ancaman laten bagi perkembangan cum pelestarian seni-budaya. Hanya saja menjadi tidak bijak apabila mengembangkan mindset antipati terhadap semua yang berbau globalisasi. Globalisasi perlahan tapi pasti akan masuk ke Indonesia, tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Lalu, apa yang semestinya dilakukan untuk ‘menyelamatkan’ seni-budaya kita dari dampak negatif globalisasi, Doktor Abhay Kumar Singh dari India memformulasikan tesis bijak untuk menjawab ini. Menurutnya globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada seni-budaya, karena globalisasi sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya. Tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi bisa memberikan kesempatan istimewa untuk bangsa-bangsa yang kaya dengan budaya. Seni-budaya yang dimiliki oleh suatu negara akan tersebar ke luar batas negara dan memberikan pengaruh kepada dunia.

Abhay juga menyatakan bahwa sejarah menyaksikan bahwa pada berbagai era kegemilangan, seni dari Iran, India, dan Italia berkembang sampai ke negara-negara yang jauh. Masalah inilah yang mungkin terjadi hari ini. Karena itu, bangsa Asia yang percaya kepada kekuatan akar budaya mereka tidak perlu takut pada pengaruh asing.

Ada kalimat penting dari Abhay, yaitu kita harus berusaha untuk memahami bagaimana seni bisa menjadi tameng pertahanan budaya dan tradisi. Nah, sekarang tergantung kepada kita apakah globalisasi itu dijadikan ancaman yang bisa merusak seni-budaya kita atau sebaliknya menjadi semacam batu loncatan untuk memperkenalkan seni-budaya yang kita miliki ke seluruh dunia.

NOTES:
Telah dipublikasikan penulis di Harian Borneo Tribune, Pontiianak pada Agustus 2007

 
3 Comments

Posted by on December 31, 2007 in Catatan, Media Sosial

 

3 responses to “Globalisasi; Pisau Bermata Dua

  1. pipiet senja

    December 31, 2007 at 10:48 am

    aloooow….kereeeen euy
    bikin daku kebat-kebit
    bikin daku tertunduk
    waaa…pokoknya mah dikau hebring bangeeeet
    daku suka nih blog
    isinya….hebaaat!

    ajarin daku IT nya ya…
    salamku
    bibimu pipiet senja

    Like

     
  2. Novel

    December 31, 2007 at 10:55 am

    tulisan yang menarik… masih ada yang lainnya?

    Like

     
  3. mikefreestyle

    September 13, 2008 at 1:24 pm

    boleh tak tolong huraikan mengenai proses2 globalisasi barat terhadap masyarakat timur berserta kesannya kini? trimas

    Like

     

Leave a comment