RSS

Category Archives: Writers Marketing

CD Media Relations Handbook

Stanley J Baran (2004, 361)  mendefinisikan Media Relations  sebagai “…the public relations professional maintain good relations with professionals in the media, undestrand their deadlines and other restraints, and earn their trust”. Sementara Philip Lesly (1991:7) memberikan definisi Media Relations sebagai hubungan dengan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap kepentingan organisasi.

Bahwa  Media Relations berdasarkan pada relasi antara individu atau organisasi/perusahaan dengan media.  Media Relations adalah relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan.

CD Media Relations Handook ini membantu Anda para praktisi Public Relations maupun pelaksana Media Relations baik di lembaga pemerintahan, perusahaan swasta, pranata humas lembaga, organisasi masyarakat, NGO, dan sebagainya.

CD Media Relations Handook  berisi Public Relations dalam Komunikasi Krisis – Strategi Media Relations – Mengelola Hubungan dengan Media – Berahdapan dengan Jurnalis – Panduan Menulis Rilis – Menulis Berita – Dasar-dasar Jurnalistik – Kode Etik Jurnalistik – Bahasa Jurnalistik –  Software Menulis Surat – PDF Reader – Alamat Media di Indonesia – Blog Public Relations – Menulis Blog untuk Media Relations – Cultural and Media Studies e-Book dan lain sebaginya. Yang pasti, ini akan menuntun Anda dalam MEDIA RELATIONS WRITING!

Di dalam paket ini juga tersedia modul Media Relations yang akan menuntun Anda langkah demi langkah untuk menguasai teori sekaligus praktik Media Relations.

—————————————-

BONUS : Anda juga dapat melakukan konsultasi GRATIS selama 1 [SATU] TAHUN penuh dengan praktisi media relations berpengalaman dan sekaligus kalangan akademisi pemegang master jurnalistik, dan kandidat doktor kajian media. Lebih dari 10 tahun bekerja sebagai manajer public relations baik di perusahaan swasta maupun lembaga swadaya masyarakat.

—————————————–

Bagaimana Anda bisa mendapatkannya?

Pertama, daftarkan diri Anda dan lamat pengiriman ke redaksi @ menulisyuk.com

Kedua, transfer jumlah uang sesuai harga CD (rp.100.000)  ke rekening… BCA KCP Sunrise Garden No Rek 6500067274 atas nama Rully Nasrullah

Ketiga, setelah dikonfirmasi transfer pembayaranbaik melalui email maupun sms dan telepon  maka CD akan segera dikirim

Saatnya Anda seakrang menjadi pelaksana media relations yang profesional!

——————————————————————————–

MENULISYUK KOMUNIKATA
Pengelola program

p. 0812 8749 407
e. redaksi@menulisyuk.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya // <![CDATA[
document.write( ” );
// ]]>

idym. arulkhana
w. http://www.menulisyuk.com

 
Leave a comment

Posted by on October 24, 2009 in Catatan, Writers Marketing

 

Tertipu Pelatihan Menulis

Alkisah, seorang guru bijak yang tinggal di kaki bukit didatangi oleh seseorang
“Kamu mau belajar?” tanya sang guru.
“Iya, saya ingin menjadi lebih baik,” jawab orang tersebut.
Kemudian sang guru mengeluarkan batu dari dalam sakunya, lalu, “Pergilah ke pasar, dan juallah batu ini!” perintahnya.
Orang itu mengangguk dan langsung pergi disertai dengan harapan bila usahanya berhasil dirinya akan menjadi murid dari sang guru yang terkenal dengan kebijaksanaannya tersebut.
Namun, apa yang didapatinya ketika di pasar?
“Ah, masak batu ini saja dijual.”
“Dikasih saja saya tidak mau.”
“Batu jelek. Buat apa. Paling buat nimpuk anjing.”
Dengan perasaan kecewa, dia pun kembali ke kaki bukit dan melaporkan kepada sang guru. “Bagaimana mungkin saya bisa menjualnya guru?” tanyanya pelan, “bahkan saya sendiri tidak yakin ini batu apa.”
Sang guru tersenyum, “Cobalah ke balik bukit ini dan jual batu tersebut minimal 10 dirham.”
Kening sang calon murid berkerut. Sepuluh dirham? batinnya aneh.
Tapi karena dia ingin belajar dari sang guru, perintah itu pun dijalaninya.
Betul saja, dibalik bukit batu itu tiba-tiba saja banyak orang di pasar menawar batu tersebut; tidak 10 dirham, tetapi sampai 1.000 dirham.
Dengan masih menyimpan tanda tanya, dia pun pulang. “Kok bisa?” tanyanya singkat pada sang guru.
Sang guru pun menjawab, “Itu karena… ”

***
Keinginan untuk belajar menulis, menghasilkan karya yang dipublikasikan di media, menerbitkan buku, dan memutuskan menjadi penulis merupakan keinginan setiap orang. Tidak ada orang yang lahir langsung tertulis di keningnya bahwa dia akan menjadi seorang penulis.

Dan untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan adalah mengikuti ‘Pelatihan Menulis’. Tentu saja dengan harapan bahwa setelah selesai dengan pelatihan tersebut keinginan menjadi penulis bisa diwujudkan; setidaknya sudah mulai bisa menulis yang baik.

Tapi, pernahkan kita berpikir bahwa sebenarnya pelatihan menulis yang diikuti ternyata tidak menghasilkan apa-apa? Menghamburkan uang untuk membayar biaya pelatihan menulis? Tertipu dengan janji-janji muluk institusi/perorangan yang menggelar pelatihan menulis dengan promosi gila mereka? Celakanya lagi, kita sering tidak sadar bahwa sebenarnya kita adalah korban dari penipuan pelatihan menulis itu sendiri?

Kok bisa? Ya, dalam kehidupan ini apa sih yang tidak bisa.

Pernahkah Anda membawa sepeda motor Anda ke apotik karena mogok? Tentu tidak, bukan? Karena apotik bukan bengkel motor yang menyediakan semua peralatan yang bisa memperbaiki motor Anda.

Analogi yang sama berlaku bagi Anda yang tidak ingin tertipu dengan pelatihan menulis. Percayakah Anda bahwa Anda akan bisa menerbitkan buku sementara fasilitator pelatihan menulis itu sendiri tidak pernah menerbitkan buku atau baru satu kali menerbitkan buku? Percayakah Anda bahwa Anda akan bisa menulis artikel yang menarik setelah dibimbing oleh pemateri pelatihan menulis yang ternyata tidak pernah sekali pun menulis artikel di media? Atau, yakinkan Anda akan kaya dari menulis bila Anda mengikuti pelatihan menulis yang mentornya sendiri pun tak punya laptop?.

Ya, di dunia literasi belakangan ini banyak beredar pelatihan menulis dan juga buku-buku yang meniupkan angin surga. Menjanjikan bahwa semua peserta dengan bayaran tertentu akan bisa menjadi penulis hebat, bukunya best seller, dan bahkan menjadi kaya hanya dari menulis.

Ya, sekarang banyak (yang mengaku dirinya) penulis tidak malu-malu memproklamirkan diri mereka sebagai penulis handal dan hebat sebagai mentor kepenulisan. Menggelar pelatihan menulis buku best seller sedangkan bukunya sendiri nggak lebih dari seribu yang terjual. Membuat pelatihan agar jadi penulis terkenal sementara mendengar namanya saja banyak yang tidak pernah. Menggeber acara agar mampu menembus penerbit sementara dia sendiri berdarah-darah bahkan tidak pernah bisa menembus penerbit. Menebar kegiatan kepenulisan sementara dia sendiri tidak tahu metoda apapun untuk melakukan kegiatan tersebut.

***
“Karena apa guru?” Sang calon murid masih saja penasaran.
Sang guru mengusap jenggotnya yang memutih.
“Guru?” desak sang calon murid lagi.
“Apa pendapatmu pertama kali melihat batu itu?” Sang guru malah bertanya.
Maka sang calon murid pun membeberkan pendapat negatif dan pesimisnya soal batu tersebut. Namun, yang masih membuatnya tidak mengerti, “Tapi kenapa batu itu malah laku dan mahal pula?”
Sang guru tersenyum, “Itu karena di balik kemasan batu yang hitam dan kusam tersebut, batu itu sebenarnya adalah berlian.”
“Berlian?” sang calon murid pun ternganga.
“Ya, kalau tidak tahu apa isinya dan tertipu dengan penampilannya, maka percayalah selamanya batu tersebut tidak berharga sama sekali.”
Sang calon murid pun merenung dengan dalam.

***

Tentunya, Anda tidak ingin mendapatkan batu yang tidak ada isinya bukan? Apalagi setelah mengeluarkan tenaga, pikiran, mengorbankan waktu, dan bahkan mengeluarkan sejumlah uang untuk harapan yang besar ternyata Anda malah menjadi korban penipuan. Ugh, gak, deh.

Nah, agar Anda tidak salah langkah dalam mengambil keputusan pelatihan menulis mana yang harus Anda ikuti, beberapa tips berikut mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan;

Pertama, perhatikan siapa fasilitator/mentor/pemateri pelatihan menulis tersebut. Ingat, Anda tidak mungkin belajar kimia dengan guru Bahasa Indonesia bukan? Nah, penting bagi Anda mengetahui bagaimana rekam jejak si pemateri tersebut. Cari informasi berapa banyak buku yang sudah dihasilkannya, berapa kali bukunya best seller, berapa kali tulisannya di muat di media, berapa kali profilnya diliput media, hingga betulkah dia masih menjadi penulis atau jangan-jangan buku terakhir yang ditulisanya hanya satu-dua dan itu pun sudah lima tahun yang lalu.

Kedua, mungkin Anda harus mempertimbangkan ulang jika fasilitator/mentor/pemateri memang penulis atau praktisi perbukuan yang hebat. Loh, kenapa? Ingat dia mungkin penulis buku-buku best seller, tetapi dia bukanlah mentor yang baik. Dia mungkin praktisi industri perbukuan yang terkenal, tetapi belum tentu dia bisa mentransformasikan ilmunya kepad orang lain. Dia mungkin penulis handal, namun bisa jadi Anda tidak akan mengerti satupun perkataannya selama menjadi pembicara. Setiap orang bisa menjadi guru, tetapi hanya orang-orang tertentu yang betul-betul bisa mengelola pembelajaran dengan baik.

Ketiga, bijak dalam mengeluarkan uang untuk mengikuti pelatihan. Jika ada yang gratis, kenapa harus yang bayar? Banyak penulis profesional yang mau membagi ilmunya secara gratis; Anda tidak perlu bertanya langsung kepada sang penulis profesional tersebut, cukup buka blognya dan yakinlah mereka tidak segan-segan membagi ilmu di laman jaringan pertemanan sosial tersebut. Kalaupun Anda harus mengeluarkan uang, perhatikan dengan teliti apakah pelatihan tersebut memang layak untuk dibayar. Tanya kepada mereka yang sudah pernah mengikuti pelatihan; bagaimana hasilnya? Bisa menulis? Bisa menerbitkan buku? Metodenya pas?

Keempat, jangan tertipu dengan angin surga promosi pelatihan menulis. Strategi marketing communications adalah menebar jaring selebar-lebarnya untuk mendapatkan klien. Nah, salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan bujuk rayu yang menggiurkan. Anda harus cermat menelan promosi tersebut, lakukan pengecekan, dan teliti sejauhmana promosi itu menjadi kenyataan.

Kelima, Anda sendiri jangan terlalu berharap banyak setelah mengikut pelatihan. Pelatihan menulis merupakan salah satu cara untuk memperkaya wawasan Anda. Selebihnya tergantung pada sebeberapa kuat Anda belajar, belajar, dan belajar menulis.

***
“Jadi guru, bagaimana dengan nasib saya? Apakah saya sudah diterima menjadi murdi guru?” tanya sang calon murid.
Sang guru berdiri, dia pun berkata sebelum beranjak pergi, “Kan pelajarannya sudah selesai.”

 
2 Comments

Posted by on April 16, 2009 in Writers Marketing

 

13 Kesalahan (yang kadang Disengaja) Penerbit ==ADA LOMBANYA!==

Ini adalah daftar dari 10 hal yang nggak mungkin salah satunya pernah menimpa Anda, entah itu penulis pemula maupun penulis yang udah nggak pemula lagi 🙂

1. Tidak pernah memberi kabar nasib naskah. Sesuai janji atau promosi yang sering dilakukan penerbit “naskah akan dinilai dan dikabari minimal satu bulan sampai tiga bulan”, tetapi udah berbulan-bulan kabar angin pun tidak ada.

2. Hilang ditelan bumi. Dulu awalnya sering nelpon, eh pas naskah di tangan sang penanggung jawab hilang ditelan bumi. Jangankan diangkat telpon, sms atawa email pun nggak di balas. Pas disamperin ke kantor penerbitnya; bilang nggak adalah, udah pindah lah, inilah… itulah… Eh, pas ketemu di pameran buku tu orang pasang wajah nggak berdosa…

3. Tak jadi terbit walau sudah tanda tangan perjanjian. Ini lebih menyesakkan lagi, udah tanda tangan perjanjian eh tahu-tahu dikasih kabar bukunya nggak jadi terbit. Padahal naskah itu sudah setahun nginep di penerbit. “maaf ya, karena kebijkan akhirnya naskah Anda kami batalkan terbitnya. Anda boleh kok nawarin ke penerbit lain.”

4. Pesen pepesan kosong. Ada penerbit yang mesen ini dan mesen itu. Sebagai penulis (apalagi pemula) percaya aja dengan pesen itu. Nah, setelah naskah jadi, malah nggak tahu kabarnya lagi.

5. Diplomasi yang bikin basi. “Coba deh Anda tulis dulu naskahnya. Ntar kita baca.” Maka si penulis buatlah naskah itu dengan serius, berbulan-bulan, menghabiskan modal, tenaga, dan tentu saja pikiran. Pas jadi, jawabannya “wah, nggak asik nih naskah. Kita tolak.” Duh, kenapa ngga dari awal bilang kalo penerbit nggak bisa janji, tapi semua akan diberlakukan sama bahwa naskah yang dinilai adalah naskah yang sudah ada/jadi.

6. Nggak pernah ngasih laporan. Ini banyak banget penerbit yang melakukan ini. Buku udah terbit, tapi laporan sekalipun nggak pernah ada. Jangankan royalti, harapan denger kabar berapa yang terjual pun nggak pernah.

7. Terlambat bayar hak penulis. Kalo udah minta naskah, bisa sehari beberpa kali nelpon. Kalo minta revisi, SMS pasti nyerang terus. Eh, pas ditagih pembayarannya… bilangnya tar sok – tar sok…

8. Laporan ganda yang bayarnya kecil aja. Ini soal kejujuran laporan penjualan penerbit. Penulis kadang dibohongi dengan penjualan resmi, mereka hanya dapat penjualan fiktif yang jelas-jelas serapannya kecil dan dampaknya royalti yang diterima pun kecil banget.

9. Yang tak jelas nasibnya. Buku sudah dicetak, sudah ada di pasar, sudah bertahun-tahun berlalu tapi tetap saja ada yang nggak jelas nasib buku itu selanjutnya. Tidak pernah ngasih kabar bagaimana kelanjutan kerjasama soal buku itu. Eh, tahunya denger kabar perusahaannya udah bangkrut, eh tahunya udah ganti nama penerbit, eh tahunya udah ganti kepemilikan, namun tetep saja nasib penulis nggak pernah dikasih kabar apapun.

10. Dipimpong melulu. Mungkin memang haknya menanya soal naskah, dan ansibnya tapi selalu aja jadi bulan-bulanan di pimpong. Hari ini nanya kepada si A dikasih tahu “tanya si B”. Besok nanya si B eh dibilang “wah itu urusan si C”… sampai pada “eh, maaf si A kemarin udah pindah kerja, jadi naskahnya kita baca lagi”. Deziiiiiiiiiiggg

11. Penulis dikenai kewajiban menjual beberapa ratus eks buku dan itu sudah menjadi kewajiban penulis. Nah lo, susah ngomong deh…

12. Bermain-main dengan surat perjanjian. Misalnya aja nih ya “Royalti akan dibayarkan kalo buku sudah kejual sebanyak 100 eks”. Bayangkan kalo selama 2 tahun buku yang kejual cuma 99 eks aja… sampai kapan juga tu royalti nggak bakal nongol Ini baru satu pasal, belum pasal yang lain…. soal pajak buku yang dibebankan ke penulis, soal hak melihat prof awal sebelum dicetak, soal jumlah pembayaran, soal… soal…

13. Tidak pernah membayar royalti dan hak naskah. Ini udah jelas, nggak perlu diperjelas lagi.

Nah, buat Anda penulis (pemula) yang punya pengalaman menyebalkan berkaitan dengan naskah dan hubungan ke penerbit, sila kirim pengalaman Anda itu ke redaksi@menulisyuk.com ( redaksi at menulisyuk dot com), 10 tulisan menarik akan mendapatkan Paket Buku, CD Writers Marketing seharga Rp100.000 dan Voucher HP Rp10.000.

Tulisan yang Anda kirim akan dipublikasikan di http://www.menulisyuk.com sebagai artikel yang bisa diakses semua penulis dan menjadi bahan renungan penerbit.

kangarul

ceo menulisyuk komunikata

tempatnya para penulis pemula

 
2 Comments

Posted by on February 7, 2009 in Writers Marketing

 

8 C KEY Writers Marketing: CONCEPT

Di salah satu sesi workshop kepenulisan yang diadakan Forum Lingkar Pena Jakarta, diikuti oleh peserta umum dan pada saat itu saya sebagai fasilitator, sebuah pertanyaan saya ajukan kepada puluhan peserta: “Siapa yang sudah punya niat ingin menjadi penulis sejak dua atau tiga tahun yang lalu, tetapi sampai saat ini belum satu tulisan pun yang dipublikasikan?”

Awalnya saya menduga bahwa hanya satu dua peserta seminar saja yang mengangkat tangannya, ternyata yang terjadi sebaliknya. Dalam ingatan saya ada lebih dari 10 orang.  Lho, kok bisa? “Saya bingung menyelesaikan naskah”, “Waktunya sering nggak ada, sibuk dengan urusan keluarga”, “Kuliah. Banyak tugas dari dosen” hingga “Capek nulis, nggak pernah bisa tembus media apalagi diterbitkan”. Itulah sebagian di antara alasan-alasan yang terlontar dari mereka.

Kemudian, saya pun bertanya lagi. Kali ini angka tahunnya saya naikkan menjadi di atas lima tahun; saya menduga angka dua atau tiga tahun sudah cukup lama bagi seseorang yang hanya punya niat menulis, namun belum bisa memublikasikan naskahnya. Rupanya, lagi-lagi membuat saya sedikit berkerut antara percaya atau apa ini sekadar becanda, ada seseorang yang mengangkat tanggannya.

Di kesempatan acara kepenulisan lainnya, saya mencoba mengajukan sebuah pertanyaan lain: “Adakah yang sudah menulis naskah di komputer atau laptop, tetapi sampai sekarang naskah tersebut tidak selesai-selesai?” Seperti dugaan, banyak peserta yang mengangkat tangan. Uniknya lagi, yang mengangkat tangan tersebut sambil tersenyum-senyum; entah karena senyum menyadari ‘kesalahannya’ atau karena malu karena ketahuan ‘berbuat salah’.

Dua pertanyaan di atas selalu saya ajukan di setiap diminta menjadi pembicara, fasilitator, atau narasumber acara kepenulisan. Seperti mengalami de javu, saya selalu menemukan kenyataan yang berulang-ulang.

Akhirnya saya bertanya, sebenarnya apa betul mereka ingin jadi penulis?

***

Banyak alasan yang membuat ‘pekerjaan’ menyelesaikan sebuah naskah tertunda-tunda. Dari semua alasan faktor kesibukan dan ketiadaan waktu luang untuk menyelesaikan naskah adalah alasan yang paling difavoritkan. Pekerjaan yang menumpuk, kelelahan karena seharian beraktifitas, tugas-tugas kuliah yang banyak, urusan keluarga yang bikin pusing, anak-anak yang mengganggu, hingga selalu saja ada acara dadakan adalah sebagian kecil dari penyebab dari gagalnya seorang (calon) penulis menyelesaikan naskahnya.

Kita bisa membayangkan seorang ibu rumah tangga yang bekerja, memiliki dua orang anak yang masih kecil, mengurus rumah, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya apakah sempat menyelesaikan sebuah naskah? Jika ditilik sekilas, pasti waktu yang ada banyak tersita oleh urusan-urusan di atas dibandingkan dengan hanya menyelesaikan naskah yang bukan menjadi prioritas atau menempati urutan kepentingan paing bawah. Ketika ada dua pilihan yang diajukan, menyelesaikan naskah atau memasak makanan untuk makan pagi anak-anak dn suami, sudah bisa dipastikan bahwa sang ibu tersebut akan memilih pilihan kedua tanpa perlu mempertimbangakan argumen-argumen lainnya.

Lalu, apakah itu pilihan yang salah?

Tidak, itu bukanlah pilihan yang salah. Memaparkan kondisi di atas bukan berarti sedang membahas aspek salah-betul sesuai dengan perspektif writers marketing, melainkan sekadar menawarkan sebuah konsep seorang penulis.

Ada dua konsep yang harus dipilih bagi mereka yang ingin menjadi penulis atau mereka yang sudah belajar menulis, yaitu apakah menulis merupakan pekerjaan atau sekadar mengisi waktu luang? Jawaban dari masing-masing pertanyaan ini tentunya memiliki konsekuansi logis. Konsekuensi yang secara sadar maupun tidak langsung membentuk pola kebiasaan seseorang (penulis) ketika berhadapan dengan calon naskahnya.

Memilih untuk sekadar mengisi waktu luang berarti menulis hanya dilakukan jika memiliki kesempatan waktu di antara kesibukan-kesibukan lainnya. Tidak ada target utama harus menyelesaikan satu naskah dalam satu minggu atau dua bulan. Yang terpenting adalah menulis dilakukan jika semua pekerjaan beres, jika ada ide bagus yang muncul, jika kebetulan ada keinginan menulis, dan atau jika sedang iseng-iseng memang ingin menulis.

Sementara yang memilih menulis sebagai sebuah pekerjaan berarti semua hal yang melekat di kata ‘pekerjaan’ sudah menjadi keharusan dan mesti dilakukan. Layaknya bekerja di kantor atau di rumah; semua waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang seringkali dikorbankan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Bekerja berarti menyesuaikan jadwal dan mengasah kemampuan untuk dapat lebih profesional.  Bahkan, bila diharuskan pekerjaan tersebut menuntut kita untuk sekolah formal maupun non-formal, maka mau tidak mau hal tersebut harus dilakukan. Pekerjaan menuntut kita untuk menyingkirkan ganguang-gangguan yang ada dan mungkin akan muncul. Memberikan target yang cukup ketat untuk menyelesaikan tugas-tugas. Terkakhir, sudah tentu hasil yang didapatpun sesuai dengan ekspektasi atau harapan ketika memulai pekerjaan.

Begitu juga halnya dalam menulis. Pekerjaan menulis menuntut keseriusan yang jauh lebih tinggi, ketersediaan waktu yang jauh lebih banyak dibandingkan hanya pekerjaan sampingan, memerlukan kerja keras yang memutar otak, pengorbanan ditolak dan ditolak oleh media/penerbit, mengasah kemampuan menulis dengan mengikuti workshop, seminar, atau pelatihan yang berhubungan dengan kepenulisan, masuk dalam organisasi kepenulisan atau setidaknya mengikuti kegiatan yang digelar oleh komunitas penulis, mempunyai database media/penerbit, hingga disiplin menyelesaikan naskah sesuai dengan target.

Dua pilihan konsep diri tentang kepenulisan inilah yang sekarang berada di tangan Anda. Tentu konsekuensi logis memilih salah satu konsep itu jelas ada. Juga, hasil akhir atau apa yang akan didapat pun akan berbeda atau satu dengan yang lain.

Saya jadi teringat sebuah buku yang bercerita tentang Stephen King. Penulis thriller kenamaan dari Amerika ini ketika menulis sebuah karya ia akan mengurung diri di dalam ‘kamar kerjanya’, menghilangkan ganguan demi gangguan yang akan muncul bahkan dari sang istri si penulis sekalipun , dan baru keluar jika pekerjaannya menulis naskah sudah selesai. 

Inilah konsep diri seorang penulis.

 
1 Comment

Posted by on September 16, 2008 in Writers Marketing