Alkisah, seorang guru bijak yang tinggal di kaki bukit didatangi oleh seseorang
“Kamu mau belajar?” tanya sang guru.
“Iya, saya ingin menjadi lebih baik,” jawab orang tersebut.
Kemudian sang guru mengeluarkan batu dari dalam sakunya, lalu, “Pergilah ke pasar, dan juallah batu ini!” perintahnya.
Orang itu mengangguk dan langsung pergi disertai dengan harapan bila usahanya berhasil dirinya akan menjadi murid dari sang guru yang terkenal dengan kebijaksanaannya tersebut.
Namun, apa yang didapatinya ketika di pasar?
“Ah, masak batu ini saja dijual.”
“Dikasih saja saya tidak mau.”
“Batu jelek. Buat apa. Paling buat nimpuk anjing.”
Dengan perasaan kecewa, dia pun kembali ke kaki bukit dan melaporkan kepada sang guru. “Bagaimana mungkin saya bisa menjualnya guru?” tanyanya pelan, “bahkan saya sendiri tidak yakin ini batu apa.”
Sang guru tersenyum, “Cobalah ke balik bukit ini dan jual batu tersebut minimal 10 dirham.”
Kening sang calon murid berkerut. Sepuluh dirham? batinnya aneh.
Tapi karena dia ingin belajar dari sang guru, perintah itu pun dijalaninya.
Betul saja, dibalik bukit batu itu tiba-tiba saja banyak orang di pasar menawar batu tersebut; tidak 10 dirham, tetapi sampai 1.000 dirham.
Dengan masih menyimpan tanda tanya, dia pun pulang. “Kok bisa?” tanyanya singkat pada sang guru.
Sang guru pun menjawab, “Itu karena… ”
***
Keinginan untuk belajar menulis, menghasilkan karya yang dipublikasikan di media, menerbitkan buku, dan memutuskan menjadi penulis merupakan keinginan setiap orang. Tidak ada orang yang lahir langsung tertulis di keningnya bahwa dia akan menjadi seorang penulis.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan adalah mengikuti ‘Pelatihan Menulis’. Tentu saja dengan harapan bahwa setelah selesai dengan pelatihan tersebut keinginan menjadi penulis bisa diwujudkan; setidaknya sudah mulai bisa menulis yang baik.
Tapi, pernahkan kita berpikir bahwa sebenarnya pelatihan menulis yang diikuti ternyata tidak menghasilkan apa-apa? Menghamburkan uang untuk membayar biaya pelatihan menulis? Tertipu dengan janji-janji muluk institusi/perorangan yang menggelar pelatihan menulis dengan promosi gila mereka? Celakanya lagi, kita sering tidak sadar bahwa sebenarnya kita adalah korban dari penipuan pelatihan menulis itu sendiri?
Kok bisa? Ya, dalam kehidupan ini apa sih yang tidak bisa.
Pernahkah Anda membawa sepeda motor Anda ke apotik karena mogok? Tentu tidak, bukan? Karena apotik bukan bengkel motor yang menyediakan semua peralatan yang bisa memperbaiki motor Anda.
Analogi yang sama berlaku bagi Anda yang tidak ingin tertipu dengan pelatihan menulis. Percayakah Anda bahwa Anda akan bisa menerbitkan buku sementara fasilitator pelatihan menulis itu sendiri tidak pernah menerbitkan buku atau baru satu kali menerbitkan buku? Percayakah Anda bahwa Anda akan bisa menulis artikel yang menarik setelah dibimbing oleh pemateri pelatihan menulis yang ternyata tidak pernah sekali pun menulis artikel di media? Atau, yakinkan Anda akan kaya dari menulis bila Anda mengikuti pelatihan menulis yang mentornya sendiri pun tak punya laptop?.
Ya, di dunia literasi belakangan ini banyak beredar pelatihan menulis dan juga buku-buku yang meniupkan angin surga. Menjanjikan bahwa semua peserta dengan bayaran tertentu akan bisa menjadi penulis hebat, bukunya best seller, dan bahkan menjadi kaya hanya dari menulis.
Ya, sekarang banyak (yang mengaku dirinya) penulis tidak malu-malu memproklamirkan diri mereka sebagai penulis handal dan hebat sebagai mentor kepenulisan. Menggelar pelatihan menulis buku best seller sedangkan bukunya sendiri nggak lebih dari seribu yang terjual. Membuat pelatihan agar jadi penulis terkenal sementara mendengar namanya saja banyak yang tidak pernah. Menggeber acara agar mampu menembus penerbit sementara dia sendiri berdarah-darah bahkan tidak pernah bisa menembus penerbit. Menebar kegiatan kepenulisan sementara dia sendiri tidak tahu metoda apapun untuk melakukan kegiatan tersebut.
***
“Karena apa guru?” Sang calon murid masih saja penasaran.
Sang guru mengusap jenggotnya yang memutih.
“Guru?” desak sang calon murid lagi.
“Apa pendapatmu pertama kali melihat batu itu?” Sang guru malah bertanya.
Maka sang calon murid pun membeberkan pendapat negatif dan pesimisnya soal batu tersebut. Namun, yang masih membuatnya tidak mengerti, “Tapi kenapa batu itu malah laku dan mahal pula?”
Sang guru tersenyum, “Itu karena di balik kemasan batu yang hitam dan kusam tersebut, batu itu sebenarnya adalah berlian.”
“Berlian?” sang calon murid pun ternganga.
“Ya, kalau tidak tahu apa isinya dan tertipu dengan penampilannya, maka percayalah selamanya batu tersebut tidak berharga sama sekali.”
Sang calon murid pun merenung dengan dalam.
***
Tentunya, Anda tidak ingin mendapatkan batu yang tidak ada isinya bukan? Apalagi setelah mengeluarkan tenaga, pikiran, mengorbankan waktu, dan bahkan mengeluarkan sejumlah uang untuk harapan yang besar ternyata Anda malah menjadi korban penipuan. Ugh, gak, deh.
Nah, agar Anda tidak salah langkah dalam mengambil keputusan pelatihan menulis mana yang harus Anda ikuti, beberapa tips berikut mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan;
Pertama, perhatikan siapa fasilitator/mentor/pemateri pelatihan menulis tersebut. Ingat, Anda tidak mungkin belajar kimia dengan guru Bahasa Indonesia bukan? Nah, penting bagi Anda mengetahui bagaimana rekam jejak si pemateri tersebut. Cari informasi berapa banyak buku yang sudah dihasilkannya, berapa kali bukunya best seller, berapa kali tulisannya di muat di media, berapa kali profilnya diliput media, hingga betulkah dia masih menjadi penulis atau jangan-jangan buku terakhir yang ditulisanya hanya satu-dua dan itu pun sudah lima tahun yang lalu.
Kedua, mungkin Anda harus mempertimbangkan ulang jika fasilitator/mentor/pemateri memang penulis atau praktisi perbukuan yang hebat. Loh, kenapa? Ingat dia mungkin penulis buku-buku best seller, tetapi dia bukanlah mentor yang baik. Dia mungkin praktisi industri perbukuan yang terkenal, tetapi belum tentu dia bisa mentransformasikan ilmunya kepad orang lain. Dia mungkin penulis handal, namun bisa jadi Anda tidak akan mengerti satupun perkataannya selama menjadi pembicara. Setiap orang bisa menjadi guru, tetapi hanya orang-orang tertentu yang betul-betul bisa mengelola pembelajaran dengan baik.
Ketiga, bijak dalam mengeluarkan uang untuk mengikuti pelatihan. Jika ada yang gratis, kenapa harus yang bayar? Banyak penulis profesional yang mau membagi ilmunya secara gratis; Anda tidak perlu bertanya langsung kepada sang penulis profesional tersebut, cukup buka blognya dan yakinlah mereka tidak segan-segan membagi ilmu di laman jaringan pertemanan sosial tersebut. Kalaupun Anda harus mengeluarkan uang, perhatikan dengan teliti apakah pelatihan tersebut memang layak untuk dibayar. Tanya kepada mereka yang sudah pernah mengikuti pelatihan; bagaimana hasilnya? Bisa menulis? Bisa menerbitkan buku? Metodenya pas?
Keempat, jangan tertipu dengan angin surga promosi pelatihan menulis. Strategi marketing communications adalah menebar jaring selebar-lebarnya untuk mendapatkan klien. Nah, salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan bujuk rayu yang menggiurkan. Anda harus cermat menelan promosi tersebut, lakukan pengecekan, dan teliti sejauhmana promosi itu menjadi kenyataan.
Kelima, Anda sendiri jangan terlalu berharap banyak setelah mengikut pelatihan. Pelatihan menulis merupakan salah satu cara untuk memperkaya wawasan Anda. Selebihnya tergantung pada sebeberapa kuat Anda belajar, belajar, dan belajar menulis.
***
“Jadi guru, bagaimana dengan nasib saya? Apakah saya sudah diterima menjadi murdi guru?” tanya sang calon murid.
Sang guru berdiri, dia pun berkata sebelum beranjak pergi, “Kan pelajarannya sudah selesai.”